Sejarah dan Makna Bulan Suro Bagi Masyarakat Suku Jawa Indonesia

621
ILUSTRASI: Kegiatan malam satu suro

JAKARTA, gerbangdesa.com – Tradisi Malam Suro merupakan perayaan awal bulan Sura yang menandai awal tahun baru dalam penanggalan Jawa. Perayaan malam satu suro ini telah menjadi tradisi yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam.

Menurut situs Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, bulan Suro dianggap sebagai bulan suci oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa di berbagai daerah menyelenggarakan berbagai jenis acara dengan kegiatan dan makna yang berbeda untuk merayakan malam pertama Suro.

Sejarah malam Suro

Konon, inisiasi perayaan satu malam Suro ini bertujuan untuk memperkenalkan penanggalan Islam di kalangan masyarakat Jawa. Pada tahun 931 Hijriah atau Tahun Baru Jawa 1443, yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak, Sunan Giri II melakukan penyesuaian antara sistem penanggalan Hijriah (Islam) dengan sistem penanggalan Jawa saat itu.

Sedangkan menurut catatan sejarah lainnya, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada tahun 1633 M atau tahun Jawa 1555, Sultan Agung menetapkan tahun Jawa atau Tahun Baru Saka untuk diberlakukan di tanah Mataram dan menetapkan 1 Suro sebagai tanda dimulainya Tahun Baru Jawa.

BACA JUGA:  Ini Daftar Jenis Satwa Liar Dilindungi yang Ada di Kalimantan

Masyarakat umum saat itu menganut sistem penanggalan Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu, sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem penanggalan Hijriah. Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif menggabungkan penanggalan Saka dengan penanggalan Hijriah menjadi penanggalan Jawa.

Artinya Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya. Selain menyerang Belanda di Batavia, ia juga bertujuan mempersatukan Jawa. Oleh karena itu, Sultan Agung tidak ingin rakyatnya terpecah karena perbedaan keyakinan agama.

Penyatuan penanggalan dimulai pada hari Jum’at Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Un Suro adalah hari pertama bulan Suro dalam penanggalan Jawa, yang juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram penanggalan Hijriyah.

Sedangkan Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin mempersatukan golongan santri dan abangan. Untuk itu pada hari Jum’at Legi dilakukan laporan pemda sedangkan pengajian dilakukan oleh camat, serta ziarah penguburan dan pengangkutan ke makam Ngampel dan Giri.

BACA JUGA:  Musda Kalteng Percayakan Audy Valent Pimpin Fordayak Kotim

Jadi 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jum’at Legi juga sakral. Bahkan dianggap sial jika ada yang memanfaatkan hari ini di luar kepentingan mengaji, haji dan drag.

Arti dari malam Suro

Sejak saat itu hingga sekarang, malam suro diartikan sebagai bulan pertama penanggalan Jawa-Islam. Penyebutan kata “Suro” bagi orang Jawa berarti bulan Muharram dalam penanggalan Hijriah. Kata tersebut berasal dari kata ‘Ashura’ dalam bahasa Arab dan dicetuskan oleh pemimpin kerajaan Islam Mataram, Sultan Agung.

Namun Sultan Agung tetap memadukan penanggalan Hijriah dengan penanggalan Saka, tujuannya agar dapat merayakan acara-acara keagamaan secara serentak dengan seluruh umat Islam dan mempersatukan masyarakat Jawa yang pada saat itu terbagi antara Abangan (Kejawen) dan Putihan (umat Islam).

Makna malam Suro bagi masyarakat Jawa di beberapa daerah mengenai bulan Suro diartikan sebagai bulan yang menakutkan, penuh bencana dan bulan mahluk gaib. Ada juga masyarakat yang masih mempercayai berbagai macam mitos yang dilarang untuk dilanggar, seperti larangan keluar rumah pada malam 1 Suro. (*/ary)

sumber : detik.com