GERBANGDESA.COM BULELENG – Sejarah baru bagi petani di Desa Telaga, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Alasannya, mereka merayakan penting dalam pertanian lokal karena melaksanakan panen perdana sorgum, pada Jumat lalu 29 Maret 2024. Selanjutnya lahan seluas 30 hektar telah ditanam kembali atau lanjutan sedangkan pemasaran sudah ada pihak perusahaan yang siap menampung hasilnya.
Sorgum atau jagung Buleleng sapu jagung, merupakan salah satu jenis sereal yang kaya akan protein, serat pangan, vitamin B, dan mineral. Meskipun asalnya dari Afrika, sorgum telah ditanam secara luas di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Buleleng.
Dilansir dari updatebali.com. Seorang petani di Desa Telaga, Wayan Suarjana (55), memimpin panen perdana sorgum di ladangnya yang seluas 2 hektar bersama dengan dua rekannya.
Suarjana dan rekan-rekannya mengaku tetap optimistis bahwa sorgum akan menjadi tambahan penghasilan yang signifikan nantinya.
Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional, Andriko Noto Susanto berharap agar masyarakat Desa Telaga dapat terbiasa menanam sorgum karena memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan juga dapat meningkatkan keragaman pangan lokal.
“Sorgum juga bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi petani dan dapat menjadi pendamping hasil bumi lainnya seperti padi, buah, dan sayuran,” katanya.
Badan Pangan Nasional telah merencanakan skema untuk mendukung pengembangan sorgum di Buleleng, termasuk di Desa Telaga. Mereka berkomitmen untuk menyediakan dukungan teknis dan infrastruktur bagi petani sorgum, serta membantu dalam pemasaran hasil panen.
“Tahun ini, sorgum telah ditanam di lahan seluas 30 hektar di beberapa kecamatan di Buleleng, dengan fokus penanaman di Kecamatan Seririt dan Busungbiu karena lahan di dua kecamatan lebih siap dan antusiasme petani juga sangat tinggi,” ucapnya.
Presiden Direktur PT Sorgha Sorgum Sejahtera, Diana Widiastuti, menyatakan kesiapannya untuk menampung hasil panen sorgum dari petani di Buleleng. Permintaan yang tinggi dan produksi sorgum yang terbatas menjadi alasan utama di balik keputusannya. (*)