GERBANGDESA.COM, JAKARTA – Pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dianggap belum optimal. Bahkan, sejumlah maladministrasi juga ditemukan di 4 provinsi yaitu, Jambi, Kalimantan Utara, Jawa Barat, dan Maluku.
Asisten Ombudsman RI Bellinda W Dewanty mengungkapkan bahwa beberapa maladministrasi itu. Menurutnya, saat ini terdapat puskesmas dan fasilitas pertama lainnya yang tidak memberikan layanan preventif.
“Puskesmas juga tidak memberikan layanan obat esensial dan tidak menyiapkan layanan pengaduan,” ujar Bellinda dalam acara penyampaian laporan Ombudsman RI dengan tajuk ‘Tata Laksana Pelayanan Kesehatan pada Tingkat Pertama’ yang dikutip dari tempo.co, Jumat 29 September 2023.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan inkompetensi sumber daya manusia kesehatan pada FKTP dan penyimpangan prosedur pada tata laksana penyaluran dana non kapitasi.
Ombudsman mengungkap penyebab belum optimalnya tata laksana layanan itu. Menurut Bellinda, sosialisasi di FKTP masih sangat minim, khususnya untuk layanan preventif. “Karena sosialisasi kurang, maka mempengaruhi faktor-faktor lainnya seperti pemahaman terkait tata laksana dan sistem pengaduan,” kata Bellinda.
Alasan lain, FKTP juga dinilai tidak memahami tata laksana sistem pengaduan yang tepat. Sarana dan prasarana juga dinilai tidak menunjang. “Kita juga melihat kosongnya wewenang pengawasan terhadap distribusi dana kapitasi untuk masing-masing puskesmas,” tambah Bellinda.
Menurutnya, hal tersebut merupakan penyebab inti. Namun, hal yang lebih penting adalah bagaimana seluruh pihak menjaga mutu kualitas SDM. “Mutu kualitas SDM yang dinilai Ombudsman adalah bagaimana kehandalan dan proses yang dihasilkan,” kata Bellinda.
Menyikapi temuan tersebut, Ombudsman menyampaikan saran untuk pihak terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan BPJS Kesehatan.
“Kementerian Kesehatan perlu melakukan penyempurnaan regulasi, supaya konstruktsi hukum lebih jelas dan pelaksanaan teknisnya lebih terukur,” kata Bellinda.
Terdapat tiga regulasi yang perlu disempurnakan. Pertama, Peraturan Pelaksana UU 17/2023 harus memuat tata laksana layanan preventif secara komprehensif dan diterjemahkan dalam program-program yang strategis. Kedua, Permenkes 33/2015 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDMK.
Tiga, Kepmenkes HK.01.07/MENKES/1333/2023 tentang Peningkatan Penggunaan Sediaan Farmasi yang Menggunakan Bahan Baku Produksi Dalam Negeri untuk memenuhi kekosongan obat esensial di puskesmas.
“Yang tidak kalah penting, Kementerian Kesehatan perlu melakukan evaluasi kualitas SDMK dalam konteks pengadaan dan distribusi,” kata Bellinda.
Ombudsman menilai, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri untuk menyusun surat keputusan bersama (SKB) mengenai penyaluran dana kapitasi dari kas daerah ke Fasyankes.
Kementerian dalam negeri didorong untuk terlibat dalam monitoring dan evaluasi pengawasan terhadap Puskesmas non-BLUD.
“Pengaduan ini penting untuk mencegah adanya fraud dari dana kapitas non-BLUD. Ini kewenangan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Bellinda.
Selain itu, perlu adanya SKB antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. SKB tersebut tentang manifestasi sistem pengaduan layanan publik yang komprehensif pada fasilitas layanan kesehatan.
Sebagai informasi, temuan ini berdasarkan penemuan Ombudsman di empat provinsi yaitu Jambi, Kalimantan Utara, Jawa Barat, dan Maluku. Empat provinsi tersebut dipilih karena banyaknya jumlah pengaduan masyarakat yang diterima Ombudsman RI.
“Kami juga melakukan konfirmasi temuan dengan beberapa instansi yang memiliki irisan dengan tema yaitu Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri, termasuk praktisi,” kata Belinda. (*)